Layanan P2P lending dari AdaKami telah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Salah satu postingan bahkan mengklaim bahwa seorang nasabah telah mengakhiri hidupnya karena terjebak dalam utang dan mendapat tekanan dari penagih utang (debt collector).
Bernardino Moningka Vega, CEO AdaKami, mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada bukti yang mengkonfirmasi keberadaan nasabah yang disebutkan dalam postingan tersebut. Selain itu, metode penagihan melalui pesanan palsu dari marketplace yang disebutkan juga belum dapat ditemukan.
Lebih lanjut, Bernardino mengklaim bahwa 90% dari debt collector yang bekerja di layanan AdaKami adalah karyawan internal, sedangkan hanya 10% berasal dari vendor eksternal.
Dia juga menekankan bahwa semua debt collector di AdaKami telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). AFPI telah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan semua platform pinjol di bawah naungannya untuk memiliki sertifikasi.
“Setiap karyawan di platform kami yang berada di bawah AFPI harus memiliki sertifikasi. Jika belum memiliki, mereka harus menjalani pelatihan dan mendapatkan sertifikasi dalam waktu satu bulan. Ini adalah tindakan pencegahan yang memastikan bahwa penagihan dilakukan dengan kualitas yang tinggi,” jelasnya.
Bernardino juga menegaskan bahwa proses penagihan di AdaKami akan selalu mengikuti pedoman perilaku yang telah ditetapkan oleh AFPI.
“Jika terjadi pelanggaran, itu adalah tindakan oknum, bukan dari kami. Oknum tersebut harus ditindak tegas karena dapat merusak reputasi kami,” tambahnya.
Diketahui bahwa nama AdaKami menjadi perbincangan di internet karena adanya dugaan nasabah yang mengakhiri hidupnya akibat tekanan dari penagihan, serta tingginya bunga dan biaya layanan.
Ada juga laporan tentang debt collector yang menggunakan pesanan makanan atau barang palsu sebagai bentuk tekanan kepada debitur, meskipun hingga saat ini AdaKami belum menemukan bukti konkret terkait hal tersebut.